BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kata
“globalisasi” atau “kesejagatan” dewasa ini menjadi kata sehari-hari yang
diucapkan dimana-mana. Kata Globalisasi tersebut menunjukan gejala menyatunya
kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa mengenal batas-batas fisik geografik
dan sosial yang kita kenal sekarang ini.
Globalisasi
berkembang melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi”
di bidang teknologi komunikasi atau informasi, transportasi dan perdagangan
yang dikenal dengan istilah Triple T.
Globalisasi ini
membawa angin perubahan baru dalam kehidupan kita, baik sebagai individu maupun
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Angin perubaahan
sebagai dampak kesejagatan tersebut di satu sisi dapat membawa kemajuan, namun di
sisi lain dikhawatirkan akan menghancurkan atau sekurang-kurangnya mengikis
negara bangsa (nation state). Hal ini sejalan dengan pemikiran Naisbitt
bahwa menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan munculnya
berbagai paradoks. Di satu pihak ekonomi global menuju ke satu kesatuan dan di
pihak lain terjadi kecenderungan (Trend) politik lahirnyaa ratusan
negara baru. Sehubungan hal itu, pertanyaan yang menarik untuk dikaji ialah :
Apakah “globalisasi” akan menghilangkan negara bangsa (nation state)?
Agar negara bangsa indonesia tidak tergilas dampak negatif globalisasi
tersebut, berbagai transformasi yang membawa perubahan tidak dipandang sebagai
“ancaman”(threat), tetapi haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity)
untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memperkokoh diri kita sebagai bangsa,
agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Untuk itulah,
diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa indonesia di Era Globalisasi.
B.
Permasalahan
Indonesia adalah negara yang terletak di antara dua buah benua Asia
– Australia, dan diantara dua buah Samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik. Letak negara indonesia yang strategis tersebutlah yang menyebabkan
mudah masuknya pengaruh-pengaruh dari luar seperti pengaruh dari Globalisasi. Bagaimana
pengaruh globalisasi terhadap Ketahanan Nasional indonesia dalam aspek Ekonomi beserta
contoh kasus dan cara penyelesaiannya.
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini yaitu agar pembaca dapat mengetahui bagaimana pengaruh globalisasi terhadap Ketahanan Nasional indonesia dalam aspek Ekonomi
beserta contoh kasus dan cara penyelesaiannya.
D.
Manfaat
Penuliasan
·
Menambah wawasan mengenai apa pengaruh globalisasi terhadap
ketahanan nasional.
·
Menumbuhkan sikap kritis terhadap pengaruh globalisasi terhadap
ketahanan nasional.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Implementasi Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi
Pengertian Ketahanan Nasional adalah Kondisi dinamika, yaitu suatu
bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan,
kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan
ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara
langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. di
era globalisasi ini, Negara Indonesia banyak sekali memiliki tantangan
untuk tetap menjaga ketahanan nasional. Bidang-bidang yang berhubungan dengan ketahanan
nasional yaitu seperti pertahanan dan keamanan, sosial budaya, pangan, politik, idiologi dan masih banyak lagi contoh yang
lain.
Istilah globalisasi
menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa
mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini. Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan
dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi” dibidang teknologi komunikasi atau
informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T.
Pemikiran
Naisbitt menyatakan, menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan
munculnya berbagai paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi”
akan menghilangkan negara bangsa (nation state)? Disisi lain globalisasi
haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity) untuk meningkatkan,
mengembangkan, dan memperkokoh bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang telah maju. Untuk itulah, diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa
Indonesia di Era Globalisasi.
Globalisasi
merupakan suatu pengertian ekonomi. Konsep globalisasi baru masuk kajian dalam
universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologi
yang dicetuskan oleh Roland Robertson
dari University of Pittsburgh. Pada
prinsipnya, proses globalisasi ada
yang bertujuan intensional dan ada pula yang impersonal. Proses globalisasi
yang intensional dapat dilihat misalnya pada kegiatan perdagangan dan
pemasaran, sedangkan proses globalisasi yang impersonal dapat kita lihat,
misalnya dalam gerakan fundamentalis, agama dan kecenderungan-kecenderungan
pasar yang agak sulit untuk dijelaskan sebab-musababnya, misalnya mundurnya
mobil buatan Amerika di pasaran dunia dewasa ini.
Globalisasi
menyebabkan “bazar global” karena dunia sebenarnya telah merupakan pasaran
bersama dengan adanya alat-alat komunikasi serta entertainment global melalui
jaringan TV, internet, film, musik maupun majalah-majalah maka dunia dewasa ini
telah merupakan suatu pasar yang besar (global cultural bazaar). Bahwa dunia
telah menjadi satu pasar, dapat kita lihat gejalanya di kota-kota besar di
Indonesia, dengan menjamurnya mal-mal yang dibanjiri produk luar negeri.
Dewasa ini kita juga melihat
bahwa suatu produk tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi
komponen-komponennya telah dibuat di berbagai negara karena
pertimbangan-pertimbangan bisnis yang lebih menguntungkan. Produk Boeing, Toyota, Mitsubisi, General motor
merupakan contoh desentralisasi dalam produksinya. Sementara itu, proses
produksi juga berkembang menjadi produksi massal (mass production) yang
memungkinkan penekanan harga sehingga dapat dijual lebih murah. Pesatnya kemajuan bisnis juga didorong oleh apa yang
disebut uang global (global money) yakni credit card. James Champy penulis
terkenal Reengineering The Corporation, menyatakan selera konsumen sangat
menentukan dalam transformasi global.
Menurut
Champy, lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan
adalah Pertama,
lingkungan
yang
merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan konsumen. Kedua, untuk memenuhi selera pasar
“konsumen”, diperlukan manusia-manusia yang menguasai ilmu dan keterampilan
tertentu serta menjalankan instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga,
masyarakat masa depan merupakan masyarakat “meritokrasi”, yaitu masyarakat
yang menghormati prestasi daripada statusnya dalam organisasi. Keempat,
lingkungan yang menghormati seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya
dan bukan berdasarkan kedudukannya di dalam organisasi.
Inilah transformasi perusahaan yang
menggambarkan pula transformasi kebudayaan manusia. Nilai-nilai positif dari globalisasi (kesejagatan) mempunyai
dimensi-dimensi baru yang tidak dikenal sebelumnya seperti kriminalitas
internasional, pembajakan dan terorisme internasional, penyakit baru yang
dengan cepat menyebar ke seantero dunia. Transformasi ini berjalan dengan
menghadapi tantangan sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, globalisasi
mengandung berbagai paradoks.
Menurut
Kartasasmita (1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar
yang saling menunjang, yaitu perdagangan dan teknologi. Perdagangan akan
berkembang begitu cepat dan mengubah pola-pola kehidupan manusia. Pola-pola
kehidupan itu ditanggung oleh kemajuan teknologi yang telah mengubah
bentuk-bentuk hubungan antarmanusia dengan lebih cepat, lebih intensif, dan
lebih beragam. Transformasi bukan berjalan tanpa tantangan. John Naisbitt
mengatakan globalisasi mengandung berbagai paradoks, diantaranya berikut ini
:
1.
Budaya global vs Budaya lokal
2.
Universal vs Individual
3.
Tradisional vs Modern
4.
Jangka Panjang vs Jangka Pendek
5.
Kompetisi vs Kesamaan kesempatan
6. Keterbatasan
akal manusia vs Ledakan IPTEK
7.
Spiritual vs Material
Akibat
hubungan bisnis (perdagangan) yang telah menyatukan kehidupan manusia maka
timbul kesadaran yang lebih intern terhadap hak-hak dan kewajiban asasi
manusia. Sejalan dengan itu, kehidupan demokrasi semakin marak
dan manusia ingin menjauhkan diri dari berbagai bentuk penindasan,
kesengsaraan, diktator dan perang. Oleh karena itu, liberalisasi dalam bidang ekonomi ini
menuntut liberalisasi dalam bidang politik, dimana keduanya harus berjalan
seiring dan saling menunjang.
Buah
pikiran Kenechi Ohmae dalam “Dunia tanpa batas” dimaksudkan dalam bidang
bisnis komunikasi dan informasi memang akan menebus batas-batas nation, tetapi
tidak dengan sendirinya menghilangkan identitas suatu bangsa. Kontak budaya
tidak terelakkan akibat komunikasi yang semakin lancar. Terjadilah relativisasi
nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkretisme budaya yang sifatnya
transnasional.. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional untuk mencapai
tingkat tannas yang kita harapkan di dalam era globalisasi ini diperlukan
pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra.
Dalam
aspek Trigatra diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara
kepentingan kesejahteraan dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan,
pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing
dan kelestarian. Dalam aspek pancagatra diperlukan pemahaman penghayatan dan
pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Penghayatan budaya politik Pancasila, mewujudkan perekonomian yang efisien,
pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan yang
meningkat bagi seluruh rakyat, memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal
Ika, dan memantapkan kesadaran bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN
Globalisasi Ekonomi dan Ketahanan Nasional
Era Global saat ini, Indonesia menghadapi dua
kondisi yang kurang menguntungkan. Pertama, dinamika lingkungan yang cepat berubah
dan cenderung menggelombang (turbulent). Kedua, intensitas persaingan yang
semakin keras dan tajam. Menghadapi hal ini, konsep ketahanan nasional yang ada
wajib terus dievaluasi.
Dinamika lingkungan yang dipelopori oleh
perubahan teknologi, telah membawa implikasi perubahan yang sangat cepat
terutama di bidang ekonomi, demografi, sosial, politik, hukum dan keamanan.
Kemudahan yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi memang telah meningkatkan
kesejahteraan umat manusia, namun di sisi lain dapat memberikan ancaman yang
cukup serius apabila perkembangan teknologi tersebut tidak dikelola secara baik
berdasar moral dan etika.
Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi,
terutama teknologi transportasi dan komunikasi merupakan salah satu sebab
terjadinya era globalisasi ekonomi. Pada era tersebut mobilitas sumberdaya
barang dan jasa menjadi semakin tinggi. Juga pada skala ekonomi, perusahaan
dituntut untuk makin efisien dalam penggunaan biaya dan tuntutan kualitas hasil
produksi.
Nagara melalui peraturan-peraturannya sering
dianggap sebagai penghambat utama mobilitas sumberdaya barang dan jasa.
Negara-negara maju, yang memperoleh rente ekonomi tinggi dari pesatnya kemajuan
teknologi, menuntut berlakunya free trade dalam pengelolaan sistem
ekonomi.
Kecenderungan era perdagangan yang mengarah
pada free trade menyebabkan tereduksinya peran negara untuk melindungi
penduduk domestik dari upaya persaingan yang tidak sehat. Hal ini terutama
dilakukan ketika penduduk domestik harus berhadapan dan bersaing dengan penduduk
luar negeri. Oleh karena itu, kemandirian masyarakat terus dituntut ketika
negara mengurangi perannya dalam free trade ini. Dengan kata lain, kita
memerlukan ketahanan nasional yang prima dalam menghadapi kondisi yang
cenderung mempunyai turbulensi tinggi tersebut.
Fenomena Globalisasi Ekonomi
Globalisasi, termasuk globalisasi ekonomi,
telah mewarnai berbagai kegiatan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang
terjadi juga merubah kecenderungan perilaku masyarakat. Kini, mereka cenderung
sekuler, materialistik, individualistik dan konsumeristik. Globalisasi ekonomi
sering disebut sebagai ekonomi tanpa batas. Kegiatan-kegiatan ekonomi
menggunakan media digital yang tidak mungkin lagi dibatasi oleh administrasi
suatu negara. Implikasinya, kemampuan negara dalam memberikan perlindungan dan
mempromosikan pelaku-pelaku bisnis domestik makin berkurang. Ditambah lagi
tuntutan berlakunya sistem free trade makin akibat banyak dianutnya
kapitalisme.
Semakin dinamisnya lingkungan strategis yang
dihadapi pelaku-pelaku bisnis mendorong mereka melakukan strategi portofolio
dalam kegiatan-kegiatan investasinya. Hal ini dilakukan dalam menghadapi resiko
investasi, meski kondisi ini mendorong tumbuhnya korporasi-korporasi yang
melakukan diversifikasi usaha yang cenderung konglomerat. Dari aktivitas ini
muncullah kekaisaran bisnis (crony capitalism) dalam operasi bisnis
internasional yang memerlukan free trade yang agresif, bahkan bukan hanya
berimplikasi pada globalisasi ekonomi semata.
Strategi perusahaan-perusahaan besar
multinasional dalam upaya untuk menguasai suatu wilayah, umumnya melakukan
penetrasi dengan menguasai keunggulan suatu bangsa. Pertama, melalui
berbagai taktik promosi, mereka berupaya mempengaruhi budaya sehingga
menguntungkan barang dan jasa yang dijualnya. Kedua, produksi yang
dihasilkan berbasis pada sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, teknologi
dan manajerial skill. Ketiga, struktur ekonomi yang mendukung dan
keempat industri pendukung yang ada di wilayah ekonomi tersebut. (Dunning
1997).
Negara-negara maju di satu sisi menuntut
diberlakukannya perdagangan bebas antar negara, tetapi di sisi lain mereka
membangun hambatan masuk melalui standarisai-standarisasi internasional, yaitu
ISO 9000 (berkaitan dengan kualitas) dan ISO 14000 (berkaitan dengan lingkungan
hidup). Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ternyata tidak mudah
melewati hambatan-hambatan tersebut.
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perekonomian negara-negara tetangga, terutama pada lingkup ASEAN dan Cina. Pada lingkup regional tersebut kita melihat beberapa negara telah mengungguli kita, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Cina sampai saat ini bahkan sudah menjadi negara industri besar. Jika fee trade terwujud, negara-negara ini bukan saja akan mampu mengakselerasi perekonomian kita, tetapi juga kompetitor-kompetitor kita pada kegiatan perdagangan maupun investasi.
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perekonomian negara-negara tetangga, terutama pada lingkup ASEAN dan Cina. Pada lingkup regional tersebut kita melihat beberapa negara telah mengungguli kita, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Cina sampai saat ini bahkan sudah menjadi negara industri besar. Jika fee trade terwujud, negara-negara ini bukan saja akan mampu mengakselerasi perekonomian kita, tetapi juga kompetitor-kompetitor kita pada kegiatan perdagangan maupun investasi.
Pelayanan terhadap investor dan pengelolaan
kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh negara-negara ini adalah
tuntutan dari dampak globalisasi ekonomi. Suasana kompetisi mendatangkan
investasi ke dalam negeri mewarnai kebijakan ekonomi nasional. Lahirnya UU No.
25 tahun 2007 tentang penanaman modal adalah salah satu contoh betapa besar
dampak globalisasi ekonomi terhadap kebijakan nasional.
Kondisi Ekonomi Nasional dan Strategi
Sejak tahun 2004 sampai 2007, kondisi ekonomi
nasional membaik. Produk Domestik Bruto berdasarkan harga konstan, yang
berdasar tahun 2004 sebesar Rp. 1.656.516,8 milyar pada tahun 2007 meningkat
menjadi Rp. 1.846.654,9 milyar. Pertumbuhan ekonomi juga mengalami peningkatan,
dari 5,05 (2004) menjadi 6,3 (2007), meski peningkatan ini belum sesuai target
rencana pembangunan jangka menengah tahun 2007. Semantara tingkat inflasi
relatif terkendali pula, 6,40% (2004), 17,11% (tertinggi pada 2005), 6,60%
(2006) dan menurun kembali ke 6,59% (2007).
Namun, kondisi diatas belum mampu memecahkan
masalah ekonomi yang ada. Beberapa masalah utama yang timbul di bidang ekonomi
adalah pertama, tingkat pengangguran dan kemiskinan. Menurut BPS, tahun
2005 pengangguran mencapai 10,85 juta, 10,55 juta (2006) dan 10,01 juta (2007),
sementara kemiskinan 36,20 juta (2005), 39,29 (2006) dan 37,16 (2007). Tahun
2008 diperkirakan akan terjadi peningkatan pengangguran dan jumlah penduduk
miskin. Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga akan meuncul akibat krisis energi
dan pangan dunia.
Dari simulasi ekonomi yang pernah dilakukan
bahwa 1% pertumbuhan ekonomi nasional, hanya mampu memberikan tambahan
kesempatan kerja kepada 400.000 orang. Jadi ketika pertumbuhan berkisar 6-7%
pertahun, maka hanya ada tambahan 2.400.000 sampai 2.800.000 kesempatan kerja.
Dengan demikian, maka jumlah penganggur sebesar 10,01 juta tersebut baru dapat
diselesaikan paling cepat selama 3,6 tahun. Itupun dengan asumsi tidak ada
angkatan kerja baru. Implikasi dari tingkat pengangguran yang tinggi tersebut
tentu saja jumlah penduduk miskin ikut meningkat.
Kedua, rapuhnya struktur ekonomi. Ekonomi
Indonesiaternyata masih sangat tergantung dengan kondisi ekonomi luar negeri,
atau struktur ekonomi footlose. Indikatornya adalah bahan baku, bahan penolong
dan teknologi industri domestik adalah impor. Juga hutang luar negeri yang
digunakan untuk mengakselerasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang relatif tinggi.
Dampaknya adalah nila US$ terhadap Rupiah baik
yang disebabkan oleh depresiasi atau devaluasi selalu diikuti oleh inflasi
ongkos (cash push inflation). Hal itu pulalah yang dapat menjelaskan
mengapa krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mampu
menimbulkan stagflasi yang kemudian memicu krisis multidimensi.
Ketiga, ekonomi biaya tinggi. Indonesia dikategorikan sebagai negara high cost recovery yang di sebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia, struktur ekonomi, pemerintahan dan birokrasi yang tidak memadai, disamping budaya konsumtif dan korupsi masyarakatnya. Dicatat oleh Kompas (21/7) bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua kasus korupsi muncul tak hanya menjerat sejumlah peyelenggara negara tetapi juga penyejahteraan rakyat. Sepanjang tahun 2005-2008 ada delapan gubernur-wakil gubernur yang diadili atau diperiksa karena terlibat korupsi. Selain itu, lebih dari 32 bupati-wakil bupati atau wali-wakil walikota diadaili karena korupsi. Dan jangan lupa, ratusan anggota DPRD juga diperiksa dan diadili karena kasus korupsi.
Ketiga, ekonomi biaya tinggi. Indonesia dikategorikan sebagai negara high cost recovery yang di sebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia, struktur ekonomi, pemerintahan dan birokrasi yang tidak memadai, disamping budaya konsumtif dan korupsi masyarakatnya. Dicatat oleh Kompas (21/7) bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua kasus korupsi muncul tak hanya menjerat sejumlah peyelenggara negara tetapi juga penyejahteraan rakyat. Sepanjang tahun 2005-2008 ada delapan gubernur-wakil gubernur yang diadili atau diperiksa karena terlibat korupsi. Selain itu, lebih dari 32 bupati-wakil bupati atau wali-wakil walikota diadaili karena korupsi. Dan jangan lupa, ratusan anggota DPRD juga diperiksa dan diadili karena kasus korupsi.
Keempat, tingkat kesenjangan. Kurun waktu 2000-2006
dihitung bahwa tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat sangat tinggi. Pada tahun
2000, 40% dari kelompok penduduk berpendapatan terendah menikmati 20,92%,
sedangkan pada 2006 kelompok tersebut hanya menikmati 19,2% dari pertumbuhan
ekonomi nasional. Sebaliknya, 20% dari kelompok penduduk terkaya pada tahun
2000 menikmati 41,19% dari pertumbuhan ekonomi nasional dan pada 2006 menikmati
45,72% dari tingkat pertumbuhan nasional. (indonesia.com/penelitian Mudrajad
Kuncoro).
Ilustrasi ini juga konsisten jika dihitung
berdasar gini ratio yang menunjukkan peningkatan dari 0,29 menjadi 0,35.
Semakin tingginya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat membawa
implikasi pada semakin tingginya kesenjangan kemakmuran antar kelompok
masyarakat tersebut. Kondisi ini menurunkan kohesi sosial yang bahkan
menimbulkan potensi konflik antar kelompok masyarakat itu.
Melihat beberapa kasus di atas kita memerlukan
beberapa strategi pembangunan ketahanan nasional. Strategi pertama
adalah peningkatan kemandirian, kedua adalah strategi peningkatan daya
saing.
Strategi peningkatan kemandirian hendaknya
dilakukan dengan memberikan prioritas utama pada penguatan faktor-faktor
internal yang kita miliki. Atau dengan kata lain strategi yang lebih
berorientasi pada resource and knowledge based, karena walaupun bagaimana
strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Sedangkan strategi peningkatan daya saing lebih
diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas dari faktor-faktor internal
tersebut agar mampu menghasilkan output yang mampu berkompetisi global. Kedua
strategi ini akan berhasil jika sebelumnya dibangun kembali semangat
nasionalisme dan membangun saling percaya antar stakeholder pembangunan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Globalisasi merupakan suatu pengertian ekonomi.
Globalisasi ini membawa angin perubahan baru dalam kehidupan kita,
baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Angin perubaahan sebagai dampak kesejagatan tersebut di satu sisi
dapat membawa kemajuan, namun di sisi lain dikhawatirkan akan menghancurkan
atau sekurang-kurangnya mengikis negara bangsa (nation state).
Kemajuan yang
sangat pesat di bidang teknologi, terutama teknologi transportasi dan
komunikasi merupakan salah satu sebab terjadinya era globalisasi ekonomi. Pada
era tersebut mobilitas sumberdaya barang dan jasa menjadi semakin tinggi.
Untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi akibat
pengaruh dari globalisasi, maka diperlukan beberapa strategi pembangunan
ketahanan nasional. Strategi pertama adalah peningkatan kemandirian, kedua
adalah strategi peningkatan daya saing.
Strategi peningkatan kemandirian hendaknya
dilakukan dengan memberikan prioritas utama pada penguatan faktor-faktor
internal yang kita miliki. Atau dengan kata lain strategi yang lebih
berorientasi pada resource and knowledge based, karena walaupun
bagaimana strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sedangkan strategi peningkatan daya saing
lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas dari faktor-faktor
internal tersebut agar mampu menghasilkan output yang mampu berkompetisi
global. Kedua strategi ini akan berhasil jika sebelumnya dibangun kembali
semangat nasionalisme dan membangun saling percaya antar stakeholder
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA