Halo sahabat “share”, terimakasih sebelumnya
sudah mampir di blog saya. Semoga informasi kali ini bermanfaat buat kita
semua.
Pada kesempatan ini, saya akan sedikit
berbicara mengenai permasalahan stunting pada
anak yang terjadi di Indonesia.
Sebelumnya, sudah tahu belum Apa itu stunting?
Bagi sebagian masyarakat masih asing dengan
istilah stunting. Padahal kasus ini
merupakan salah satu kasus yang membutuhkan keprihatinan serius oleh kita
semua. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan jumlah keseluruhan
kasus stunting kelima terbesar di dunia menurut data yang dikeluarkan
oleh WHO (World Health Organization).
Lalu apa itu stunting sesungguhnya ?
(Sumber:
Bank Dunia, 2017)
Stunting
adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Dalam kasus ini, kekurangan gizi
terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir,
tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun. Secara umum kasus stunting
atau balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi
ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang
diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait
masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara
tidak langsung mempengaruhi kesehatan.
Bagaimana
dengan kondisi stunting di Indonesia
?
Di
Indonesia, stunting disebut kerdil,
artinya ada gangguan pertumbuhan fisik dan pertumbuhan otak pada anak. Anak stunting dapat terjadi dalam 1000 hari
pertama kelahiran (HPK) dan dipengaruhi banyak faktor, di antaranya sosial
ekonomi, asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, kekurangan
mikronutrien, dan lingkungan.
Berdasarkan
publikasi terbaru WHO (2018) berjudul Reducing Stunting in Children menyebutkan
secara global pada 2016, sebanyak 22,9% atau 154,8 juta anak-anak Balita
stunting.
Di
Asia, terdapat sebanyak 87 juta Balita stunting pada 2016, 59 juta di Afrika,
serta 6 juta di Amerika Latin dan Karibia, Afrika Barat (31,4%), Afrika Tengah
(32.5%), Afrika Timur (36.7%), Asia Selatan (34.1%).
Indonesia meduduki negara dengan kasus stunting
terbesar ke-5 (lima) di dunia. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa 37% atau kurang lebih 9
juta anak balita di Indonesia mengalami masalah stunting. Dan sejak tujuh tahun
yang lalu, data tersebut tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan.Tentu
saja hal ini menjadi keprihatian serius bagi pemerintah sebab stunting berdampak pada tingkat
kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan.
Stunting
di seluruh wilayah dan lintas kelompok pendapatan
Sumber
: Publikasi Bank Dunia, 2017
Badan
Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan
kabupaten sebesar 20%, sementara Indonesia baru mencapai 29,6%. Berdasarkan Pemantauan
Status Gizi (PSG) pada 2017, prevalensi Balita stunting di Indonesia dari 34
provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni
Yogyakarta (19,8%) dan Bali (19,1%). Provinsi lainnya memiliki kasus dominan
tinggi dan sangat tinggi sekitar 30% hingga 40%.
Mengapa stunting bisa terjadi? Apa penyebabnya?
Secara umum, stunting terjadi akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Dalam
kasus stunting atau balita pendek
menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon
ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama
masa balita.
Selain itu stunting juga disebabkan oleh faktor
multidimensi yaitu bukan hanya masalah gizi saja, melainkan beberapa faktor
lain diantaranya :
- Praktik pengasuhan yang kurang baik, dalam hal ini kurangnya pengetahuan orang tua (ibu) mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah melahirkan. Selain itu kurangnya ASI eksklusif bagi bayi sampai umur 6 bulan dan makanan pendamping ASI (MPASI) yang terbatas dalam jumlah, kualitas dan variasi.
- Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care, Post Natal Care, dan Pembelajaran dini yang berkualitas.
- Kurangnya akses ke makanan bergizi, dalam hal ini faktor ekonomi menjadi salah satu faktor karena melihat harga makanan yang bergizi tinggi masih tergolong mahal sehingga bagi masyarakat yang dibawah garis kemiskinan, memiliki kendala dalam memenuhi makanan dengan kualitas gizi baik.
- Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi juga menjadi penyebab terjadinya stunting.
Apa yang terjadi pada anak yang mengalami masalah stunting?
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun)
yang mengalami stunting akan
memiliki tingkat kecerdasan tidak
maksimal (menurunya perkembangan kognitif). selain itu juga dapat menjadikan
anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit, dan di masa depan dapat beresiko
pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting menjadi salah satu prioritas nasional
guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu menciptakan manusia Indonesia yang
tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.
Bagaimana kita mencegah stunting ?
Stunting bisa dicegah dengan :
- Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan terpantau kesehatannya.
- ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
- Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
- Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Seperti halnya pada tema besar Hari Gizi Nasional tahun 2018 adalah ''Mewujudkan Kemandirian
Keluarga dalam 1000 HPK untuk Pencegahan Stunting'', dengan slogannya adalah
adalah “Bersama Keluarga Kita Jaga 1000 HPK”. Dengan begitu upaya
intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23
bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada
1.000 HPK.
Selain
itu untuk mencegah stunting, negara
hadir untuk masyarakat dalam menurunkan stunting.
Dalam hal ini upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI
telah melakukan intervensi gizi spesifik meliputi suplementasi gizi makro dan
mikro (pemberian tablet tambah darah, Vitamin A, taburia), pemberian ASI
Eksklusif dan MP-ASI, fortifikasi, kampanye gizi seimbang, pelaksanaan kelas
ibu hamil, pemberian obat Cacing, penanganan kekurangan gizi, dan JKN.
Ayo, cegah stunting mulai sekarang dengan meningkatkan
cakupan kegiatan pencegahan stunting, meningkatkan gizi pada wanita usia
reproduksi, mendukung praktek pemberian ASI optimal dan memberikan strategi
berbasis masyarakat untuk mencegah infeksi terkait penyebab stunting.
Kritik dan saran sangat berguna bagi penulis untuk lebih baik
lagi.
Sekian dan Terimakasih,
Sumber
:
Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.(2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting).
Jakarta Pusat: www.tnp2k.go.id.
Cetakan Pertama.